APHELION
Aphelion, jarak terjauh yang dicapai Bumi dalam
orbitnya mengelilingi Matahari.
Menatap cermin, anak laki-laki berambut panjang
itu menyesapi dirinya sendiri begitu dalam. Embun-embun napasnya membasahi
sedikit kaca berbingkai perak di depannya hingga wajahnya sedikit pudar.
Jari-jari kecil itu mencoba menggosok cermin lebih keras. Seperti lantunan
suara seruling yang memabukkan, anak kecil itu melihat untuk pertama kalinya
dirinya sendiri, samar-samar, dengan mata bulat dan mulut yang terbungkam erat.
Tangan kecilnya tak sabar lagi menggosok cermin itu sebersih-bersihnya, ingin
melihat lebih banyak lagi. Menembus kaca dan mencoba melihat kebenaran yang ada
baliknya. Menerka-nerka dalam pikirannya yang lugu apakah dia akan melihat
sebuah parodi alam semesta yang selama ini dipikirkan berabad-abad oleh manusia
ataukah sebuah kegelapan karena dia begitu berani mengintip kekuasaan Tuhan.
Tak berani terlalu jauh, Matahari, nama anak laki-laki itu, meninggalkan cermin
mainannya dan menemui neneknya yang sedang menyulam sebuah sapu tangan di
halaman depan.
Hujan deras terdengar ketika Matahari keluar
dari kamar gelapnya, tempat di mana pikirannya bisa berlabuh dengan leluasa
tanpa sergahan dari ibunya yang terus menyuruhnya tutup suara. Matahari sering
melihat ibunya menatap aneh padanya saat di meja makan setiap pagi. Padahal,
Matahari mendapatkan nilai matematika terbaik di kelasnya. Dia pandai
berhitung, gurunya dengan bangga mengatakan bahwa imajinasinya sangat tinggi
dan Matahari telah memutuskan bahwa itu pemberian istimewa dari Tuhan untuk
dirinya.
Tetapi menurut Matahari, Sekar, teman sekelas
Matahari yang sering membawa berbagai macam bunga segar untuk menghias meja
guru setiap pagi itu memiliki imajinasi yang lebih tinggi daripada dirinya.
Sekar mengatakan dengan bangga di depan kelas ketika pelajaran agama bahwa
seekor katak berasal dari segenggam tanah dan sedikit air yang dibiarkan di
udara yang sedang menari dengan iringan angin yang lembut. Ia pernah melihat
langsung bayi katak tiba-tiba muncul di kebun bunganya yang sedikit becek.
Kadang, Matahari sedikit kagum dengan kemampuan
Sekar menjelaskan sesuatu dengan kata-katanya yang begitu meyakinkan. Ia takut
begitu saja mempercayai ide gila Sekar saat itu.
"Nek, kenapa Tante Marina memarahi Elisa
saat tahu ia tidak naik kelas? Padahal Elisa selalu berkata ibunya selalu pergi
ke luar kota dan tidak bisa menemaninya belajar. Bukankah itu salahnya Tante
Marina kalau Elisa tidak belajar?"
Neneknya itu tak lagi duduk di kursi ayun yang
berada di teras rumah karena hujan. Ia sedang duduk di ruang keluarga dengan
tangan bergetar karena terlalu lama memegang buku. Neneknya sering membaca buku
dongeng yang tak jarang ia bacakan untuk dirinya. Matahari sudah menghafal
semua kisah-kisah kerbau dan gajah itu, namun neneknya tetap saja tak berhenti
membacanya. Matahari berencana membelikan buku bacaan baru untuk neneknya
besok, buku Petualangan Don Kisot akan sangat disukai neneknya, Matahari juga
ingin membacanya sejak pertama kali melihat teman sebangkunya membawa buku itu
ke sekolah.
"Mungkin Elisa kurang berusaha, Matahari.
Duduk sini!" Ucap neneknya sambil menepuk pelan sebuah kursi kayu di
sampingnya. "Nenek akan membacakan dongeng baru untukmu."
"Tidak, Nenek. Aku sudah pernah
mendengarnya. Aku tahu kerbau itu tidak akan mendapatkan semua rumput di
lapangan itu karena dia tidak pernah mandi sehingga gajah tidak mau
mendekatinya."
Matahari melihat neneknya mengerutkan keningnya
sambil menggosok-gosok cincin rubi bewarna merah di jari tengahnya. Warnanya
sepekat darah merpati dengan guratan keunguan di dalamnya. Kata Nenek, cincin
itu adalah pemberian kakeknya yang telah meninggal karena tidak sabar bertemu
Tuhan. Jika saja Matahari perempuan, Neneknya akan memberikan cincin itu
kepadanya.
"Nek, aku iri dengan kakek karena dia telah
bertemu dengan Tuhan. Aku sangat mengagumi Tuhan. Dia telah menciptakan alam
semesta ini sendirian. Bahkan kata Bu Zeline, Tuhan memiliki malaikat-malaikat
cantik yang mengelilinginya. Bukankah itu seperti sebuah dongeng yang indah?"
"Benarkah? Pasti gurumu itu pintar
berkhayal. Setahu nenek, malaikat itu seorang anak kecil dan dia tidak cantik,
karena kata cantik hanya berlaku untuk perempuan sedangkan malaikat tidak
berkelamin, Matahari."
Matahari mendengar suara berisik di dapur. Mungkin
ibunya sedang membuat kue makaroni lagi. Padahal sudah berulang kali Matahari
bilang bahwa dia tidak suka makanan manis.
"Kenapa begitu?"
"Karena malaikat tidak punya nafsu seperti
kita. Mereka tidak makan kue makaroni dan segelas susu di pagi hari."
"Aku juga tidak. Aku tidak suka kue
makaroni. Terlalu manis," ucap Matahari. Anak itu membenarkan letak
kacamatanya yang hampir jatuh dari hidung kecilnya. "Tapi, nek, kalau
mereka tidak makan, lalu bagaimana mereka bisa hidup?"
"Malaikat adalah buah pikiran dari Tuhan,
Matahari. Mereka anak-anak kesayangan-Nya. Mereka adalah mata batin Tuhan yang
dikirim ke alam semesta untuk memata-matai planet-planet yang bergerak.
Biasanya mereka duduk di sebuah asteroid dan ikut berputar mengelilingi
matahari dalam kecepatan yang sangat tinggi. Jika mereka bosan, mereka
berbaring di sebuah bintang siarah dan mengejek pilu ulah manusia yang semakin
tidak bermoral dan tidak berakal budi. Hal itu merupakan hiburan yang cukup
berkelas bagi mereka."
"Aku tidak akan memercayai nenek begitu
saja sebelum aku bertemu mereka langsung. Lagian, nenek terlalu banyak
membaca dongeng kerbau dan gajah yang tidak menarik."
"Terserah kamu saja, deh."
"Oh ya, Nek, hal ini cukup menggangguku.
Kenapa Tuhan menciptakan malaikat dalam bentuk anak-anak? Bukankah orang dewasa
lebih dapat membedakan yang benar dan salah. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana cara malaikat kecil yang lugu itu menjalankan aksinya pada seorang
menteri di sebuah negara atau hakim di pengadilan. Pasti mereka bingung."
"Orang dewasa terlalu sibuk mengurusi
dunianya, Matahari. Mereka harus bekerja di depan komputer sepanjang hari,
mengantar anaknya ke sekolah, bertemu dengan teman-teman lama, dan mempercantik
diri di kamar. Mereka telah melupakan bagaimana mereka bisa hidup di dunia
penuh misteri ini. Semakin manusia dewasa, semakin mereka kehilangan kemampuan
untuk bertanya-tanya tentang dunia. Orang-orang dewasa, termasuk ibumu, mereka
tidak memiliki kekaguman lagi akan ciptaan Tuhan. Itulah kenapa Tuhan enggan
memberikan tugas itu kepada mereka."
"Tapi kenapa harus anak kecil? Aku lebih
setuju jika malaikat adalah kakek tua yang membawa tongkat dan berbicara
terbata-bata. Aku pernah melihat kakek berpakaian putih dengan tongkat di
tangannya sedang berjalan di dekat sekolahku. Katanya, kakek itu bisa membawaku
ke surga yang selalu diagung-agungkan Tuhan. Bukankah dia lebih pantas menjadi
malaikat?"
"Tidak, Matahari. Tuhan tidak pernah keliru
tentang sesuatu yang ia ciptakan. Anak-anak memiliki indra yang penting, mereka
tidak akan pernah terbiasa dengan dunia. Mereka memandang realita tanpa
persepsi yang salah. Anak-anak adalah gambaran sempurna dari rasa ingin tahu
yang besar."
Nenek mengetukkan tongkat kayunya ke lantai lalu
berkata lagi, "Kalau ibumu dan adik bayimu melihat piring terbang di meja
makan, menurutmu siapa yang akan bereaksi berlebihan? Mungkin adikmu hanya akan
tertawa kecil sambil menunjuk piring itu dengan kagum, adik bayimu terlalu
banyak melihat hal aneh dalam hidupnya. Baginya, piring terbang tidak lebih
mengagumkan dari layar televisi yang menyala. Sedangkan ibumu? Mungkin dia akan
berteriak histeris atau bahkan jatuh pingsan. Padahal, kita tidak tahu apakah
para ilmuwan itu benar atau salah dengan segala teorinya. Kita tidak
benar-benar tahu apa yang membuat benda dapat terbang di udara. Dunia itu
sendiri merupakan misteri, para pemikir besar pun sudah mengetahui hal itu dari
awal."
Matahari berdiri, melangkahkan kaki kecilnya ke
sebuah jendela di pojok ruangan yang terbuka. Hujan mulai berhenti. Hari sudah
mulai gelap dan ibunya sudah memanggilnya untuk makan malam. Matahari melihat
neneknya terlelap di kursi ayunnya, tangannya masih memegang buku usang itu
dengan erat. Ia menatap lekat wanita tua itu dan menyadari kerutan di wajah
neneknya semakin terlihat.
Esok harinya, hari minggu yang sedikit gelap
karena rintik hujan yang jatuh ke bumi, banyak orang-orang berlalu-lalang di
rumah Matahari. Semua orang berpakaian hitam dan berwajah sendu memasuki kamar
neneknya yang berada di pojok ruangan.Matahari melihat ibunya menangis di kursi
ayun neneknya, mendekap erat buku kisah dongeng kerbau dan gajah itu di
pelukannya.
"Nenekmu telah pergi, Matahari," kata
ibunya ketika Matahari mendekat. Wajahnya memerah dan dipenuhi air mata. Ibunya
berdiri lalu memeluk Matahari.
Matahari kembali mengingat kata terakhir
neneknya sore itu.
"Jalan paling sepi adalah jalan menuju
pengetahuan sejati, Matahari. Dunia akan menjauhimu. Namun jangan takut anak
kecil, karena sesuatu yang lebih besar akan menunggumu di akhir jalan
itu."