Sabtu, 09 Maret 2019

KATA-KATA

Dentum Ilusi Sang Waktu


Waktuku yang kesepian, 
Malam menautkan sepenggal cerita darinya 
Seperti puisi-puisi maut yang menerka 
Diriku diam, menatap sang raja dinding yang berpikir tajam 
Menanti sebuah hukuman dari diri yang terluka 
Lelah ku gali, apa yang menjadi jeruji dalam hati ini

Dirimu disana, tersenyum dalam kilau nirwana 
Terbelenggu indah dengan kain sutra 
Bukan maksudku menentang senja 
Namun, diriku kini hanya sebutir debu dari neraka 
Tak mampu bermimpi, apalagi berdusta 
Lelah ku menanti, anganmu yang melirik benci dan iri

Langit berkabut, tanda-tanda cuaca mencerca 
Tak pernah cukup akan dunia adalah dosa 
Seperti tetas hujan yang merindukan bulan 
Aku hanya mampu menunggumu 
Tanpa kepastian, kepemilikan, dan kehangatan
Besok nanti, masamu tak akan sama dengan masaku 
Karena aku hanyalah aku, tanpa pernah berusaha menjadi mimpi dalam ilusimu

KATA-KATA



Kicauan Dunia Kedua


Kelak, masaku dan masamu akan berbeda 
Tidak ada lagi kita, hanya aku, kamu, dan gelombang tanpa udara 
Begitu mudah mencari arti, bahkan untuk yang tak pernah terdifinisi 
Jeruji besi tak mampu menahan indra sang pencari 

Orang-orang itu, 
Terlalu sibuk berbenah dan merawat kebun tetangga 
Terlalu asik melihat diri di cermin dan tersenyum bangga 
Terlalu terlena mencari aroma diri di tengah kotoran sapi 
Begitu hina, hingga kini ku tak bisa membayang lagi 

Siapa yang salah? 
Alam yang diam? 
Takdir yang nista? 
Atau Tuhan yang tak begitu peka? 
Atau beranikah kita, 
Menunjuk manusia, setan berakal dari nirwana 
Yang dengan naif membungkus ikan mati dalam kain sutra 
Orang sepertiku, sepertimu, seperti kita 

Kelak, masaku terlihat suram 
Karena ku kira kemanusian telah terkikis habis 
Oleh otak pintar yang menemukan jalan keluar dalam ketakterbatasan 
Oleh keserakahan yang mengalir bagai sungai di neraka jahanam 
Bahkan kini sudah tercium dari angkasa 
Busuk, sesak, dan menyiksa

Jumat, 08 Maret 2019

CERPEN


APHELION




Aphelion, jarak terjauh yang dicapai Bumi dalam orbitnya mengelilingi Matahari.

Menatap cermin, anak laki-laki berambut panjang itu menyesapi dirinya sendiri begitu dalam. Embun-embun napasnya membasahi sedikit kaca berbingkai perak di depannya hingga wajahnya sedikit pudar. Jari-jari kecil itu mencoba menggosok cermin lebih keras. Seperti lantunan suara seruling yang memabukkan, anak kecil itu melihat untuk pertama kalinya dirinya sendiri, samar-samar, dengan mata bulat dan mulut yang terbungkam erat. Tangan kecilnya tak sabar lagi menggosok cermin itu sebersih-bersihnya, ingin melihat lebih banyak lagi. Menembus kaca dan mencoba melihat kebenaran yang ada baliknya. Menerka-nerka dalam pikirannya yang lugu apakah dia akan melihat sebuah parodi alam semesta yang selama ini dipikirkan berabad-abad oleh manusia ataukah sebuah kegelapan karena dia begitu berani mengintip kekuasaan Tuhan. Tak berani terlalu jauh, Matahari, nama anak laki-laki itu, meninggalkan cermin mainannya dan menemui neneknya yang sedang menyulam sebuah sapu tangan di halaman depan.

Hujan deras terdengar ketika Matahari keluar dari kamar gelapnya, tempat di mana pikirannya bisa berlabuh dengan leluasa tanpa sergahan dari ibunya yang terus menyuruhnya tutup suara. Matahari sering melihat ibunya menatap aneh padanya saat di meja makan setiap pagi. Padahal, Matahari mendapatkan nilai matematika terbaik di kelasnya. Dia pandai berhitung, gurunya dengan bangga mengatakan bahwa imajinasinya sangat tinggi dan Matahari telah memutuskan bahwa itu pemberian istimewa dari Tuhan untuk dirinya.

Tetapi menurut Matahari, Sekar, teman sekelas Matahari yang sering membawa berbagai macam bunga segar untuk menghias meja guru setiap pagi itu memiliki imajinasi yang lebih tinggi daripada dirinya. Sekar mengatakan dengan bangga di depan kelas ketika pelajaran agama bahwa seekor katak berasal dari segenggam tanah dan sedikit air yang dibiarkan di udara yang sedang menari dengan iringan angin yang lembut. Ia pernah melihat langsung bayi katak tiba-tiba muncul di kebun bunganya yang sedikit becek.
Kadang, Matahari sedikit kagum dengan kemampuan Sekar menjelaskan sesuatu dengan kata-katanya yang begitu meyakinkan. Ia takut begitu saja mempercayai ide gila Sekar saat itu.

"Nek, kenapa Tante Marina memarahi Elisa saat tahu ia tidak naik kelas? Padahal Elisa selalu berkata ibunya selalu pergi ke luar kota dan tidak bisa menemaninya belajar. Bukankah itu salahnya Tante Marina kalau Elisa tidak belajar?"

Neneknya itu tak lagi duduk di kursi ayun yang berada di teras rumah karena hujan. Ia sedang duduk di ruang keluarga dengan tangan bergetar karena terlalu lama memegang buku. Neneknya sering membaca buku dongeng yang tak jarang ia bacakan untuk dirinya. Matahari sudah menghafal semua kisah-kisah kerbau dan gajah itu, namun neneknya tetap saja tak berhenti membacanya. Matahari berencana membelikan buku bacaan baru untuk neneknya besok, buku Petualangan Don Kisot akan sangat disukai neneknya, Matahari juga ingin membacanya sejak pertama kali melihat teman sebangkunya membawa buku itu ke sekolah.

"Mungkin Elisa kurang berusaha, Matahari. Duduk sini!" Ucap neneknya sambil menepuk pelan sebuah kursi kayu di sampingnya. "Nenek akan membacakan dongeng baru untukmu."

"Tidak, Nenek. Aku sudah pernah mendengarnya. Aku tahu kerbau itu tidak akan mendapatkan semua rumput di lapangan itu karena dia tidak pernah mandi sehingga gajah tidak mau mendekatinya."

Matahari melihat neneknya mengerutkan keningnya sambil menggosok-gosok cincin rubi bewarna merah di jari tengahnya. Warnanya sepekat darah merpati dengan guratan keunguan di dalamnya. Kata Nenek, cincin itu adalah pemberian kakeknya yang telah meninggal karena tidak sabar bertemu Tuhan. Jika saja Matahari perempuan, Neneknya akan memberikan cincin itu kepadanya.

"Nek, aku iri dengan kakek karena dia telah bertemu dengan Tuhan. Aku sangat mengagumi Tuhan. Dia telah menciptakan alam semesta ini sendirian. Bahkan kata Bu Zeline, Tuhan memiliki malaikat-malaikat cantik yang mengelilinginya. Bukankah itu seperti sebuah dongeng yang indah?"

"Benarkah? Pasti gurumu itu pintar berkhayal. Setahu nenek, malaikat itu seorang anak kecil dan dia tidak cantik, karena kata cantik hanya berlaku untuk perempuan sedangkan malaikat tidak berkelamin, Matahari."

Matahari mendengar suara berisik di dapur. Mungkin ibunya sedang membuat kue makaroni lagi. Padahal sudah berulang kali Matahari bilang bahwa dia tidak suka makanan manis.

"Kenapa begitu?"

"Karena malaikat tidak punya nafsu seperti kita. Mereka tidak makan kue makaroni dan segelas susu di pagi hari."

"Aku juga tidak. Aku tidak suka kue makaroni. Terlalu manis," ucap Matahari. Anak itu membenarkan letak kacamatanya yang hampir jatuh dari hidung kecilnya. "Tapi, nek, kalau mereka tidak makan, lalu bagaimana mereka bisa hidup?"

"Malaikat adalah buah pikiran dari Tuhan, Matahari. Mereka anak-anak kesayangan-Nya. Mereka adalah mata batin Tuhan yang dikirim ke alam semesta untuk memata-matai planet-planet yang bergerak. Biasanya mereka duduk di sebuah asteroid dan ikut berputar mengelilingi matahari dalam kecepatan yang sangat tinggi. Jika mereka bosan, mereka berbaring di sebuah bintang siarah dan mengejek pilu ulah manusia yang semakin tidak bermoral dan tidak berakal budi. Hal itu merupakan hiburan yang cukup berkelas bagi mereka."

"Aku tidak akan memercayai nenek begitu saja sebelum aku bertemu mereka langsung. Lagian, nenek terlalu banyak membaca dongeng kerbau dan gajah yang tidak menarik."

"Terserah kamu saja, deh."

"Oh ya, Nek, hal ini cukup menggangguku. Kenapa Tuhan menciptakan malaikat dalam bentuk anak-anak? Bukankah orang dewasa lebih dapat membedakan yang benar dan salah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana cara malaikat kecil yang lugu itu menjalankan aksinya pada seorang menteri di sebuah negara atau hakim di pengadilan. Pasti mereka bingung."

"Orang dewasa terlalu sibuk mengurusi dunianya, Matahari. Mereka harus bekerja di depan komputer sepanjang hari, mengantar anaknya ke sekolah, bertemu dengan teman-teman lama, dan mempercantik diri di kamar. Mereka telah melupakan bagaimana mereka bisa hidup di dunia penuh misteri ini. Semakin manusia dewasa, semakin mereka kehilangan kemampuan untuk bertanya-tanya tentang dunia. Orang-orang dewasa, termasuk ibumu, mereka tidak memiliki kekaguman lagi akan ciptaan Tuhan. Itulah kenapa Tuhan enggan memberikan tugas itu kepada mereka."

"Tapi kenapa harus anak kecil? Aku lebih setuju jika malaikat adalah kakek tua yang membawa tongkat dan berbicara terbata-bata. Aku pernah melihat kakek berpakaian putih dengan tongkat di tangannya sedang berjalan di dekat sekolahku. Katanya, kakek itu bisa membawaku ke surga yang selalu diagung-agungkan Tuhan. Bukankah dia lebih pantas menjadi malaikat?"

"Tidak, Matahari. Tuhan tidak pernah keliru tentang sesuatu yang ia ciptakan. Anak-anak memiliki indra yang penting, mereka tidak akan pernah terbiasa dengan dunia. Mereka memandang realita tanpa persepsi yang salah. Anak-anak adalah gambaran sempurna dari rasa ingin tahu yang besar."

Nenek mengetukkan tongkat kayunya ke lantai lalu berkata lagi, "Kalau ibumu dan adik bayimu melihat piring terbang di meja makan, menurutmu siapa yang akan bereaksi berlebihan? Mungkin adikmu hanya akan tertawa kecil sambil menunjuk piring itu dengan kagum, adik bayimu terlalu banyak melihat hal aneh dalam hidupnya. Baginya, piring terbang tidak lebih mengagumkan dari layar televisi yang menyala. Sedangkan ibumu? Mungkin dia akan berteriak histeris atau bahkan jatuh pingsan. Padahal, kita tidak tahu apakah para ilmuwan itu benar atau salah dengan segala teorinya. Kita tidak benar-benar tahu apa yang membuat benda dapat terbang di udara. Dunia itu sendiri merupakan misteri, para pemikir besar pun sudah mengetahui hal itu dari awal."

Matahari berdiri, melangkahkan kaki kecilnya ke sebuah jendela di pojok ruangan yang terbuka. Hujan mulai berhenti. Hari sudah mulai gelap dan ibunya sudah memanggilnya untuk makan malam. Matahari melihat neneknya terlelap di kursi ayunnya, tangannya masih memegang buku usang itu dengan erat. Ia menatap lekat wanita tua itu dan menyadari kerutan di wajah neneknya semakin terlihat.

Esok harinya, hari minggu yang sedikit gelap karena rintik hujan yang jatuh ke bumi, banyak orang-orang berlalu-lalang di rumah Matahari. Semua orang berpakaian hitam dan berwajah sendu memasuki kamar neneknya yang berada di pojok ruangan.Matahari melihat ibunya menangis di kursi ayun neneknya, mendekap erat buku kisah dongeng kerbau dan gajah itu di pelukannya.

"Nenekmu telah pergi, Matahari," kata ibunya ketika Matahari mendekat. Wajahnya memerah dan dipenuhi air mata. Ibunya berdiri lalu memeluk Matahari.

Matahari kembali mengingat kata terakhir neneknya sore itu.

"Jalan paling sepi adalah jalan menuju pengetahuan sejati, Matahari. Dunia akan menjauhimu. Namun jangan takut anak kecil, karena sesuatu yang lebih besar akan menunggumu di akhir jalan itu."

KATA-KATA

Alur-Mu yang Kejam

Ku terdiam di pojok kamar
Bergelap diri tak berkawan, dingin dan kaku
Mataku mencari seekor elang di daun pintu
Menikam tajam dengan mata bercabang
Merayapiku, menghukumku dengan dosa semu
Ku olah semua perasaan aneh dalam diriku
Dan sadar,
Semesta sedang mengerjaiku
Ku ulur waktu untuk memahami
Semua resah dan rindu yang kuhinggapi
Tetap kaku, berdarah, dan berjeruji
Seperti mesin pencakar yang menari dalam api
Ku dengar, seorang meneriaki dalam lagu suci
Menawan, menggoda, tak bisa kuhindari
Ku sadar,
Semesta sedang menyembunyikan lukaku
Lalu, ku terlelap dalam ilusi akan hadirmu
Lembut tatapmu dalam gerlap malam dinginku
Mengajariku bernafas dengan perlahan dan hidup
Berlari, bertelanjang kaki di hamparan api debu
Jatuh dalam pelukan, ku dengar jantungmu bertalu
Menikmati jejak angin yang mengiris luka masa lalu
Masih saja, ku sadar
Semesta sedang mengutukku
Dengan jentikan jemari kuasamu
Dimensi waktu berhenti, ruangku terurai mati
Jerit sakit terngiang tanpa henti
Tampak kosong, ku terbangun dalam sunyi
Membuka mata untuk pertama kali
Akhirnya ku bertanya,
Semesta, apa kau sudah lelah?
Kenapa kau pertemukan aku dengannya lagi?

KATA-KATA

Jerit yang Tak Bersuara

Dirimu, di sana bagai embun biru bersahaja
Menatap dalam kerangka jiwa yang terpesona
Kita seperti irama dalam detak nyawa yang terjaga
Sampai mati, sampai dunia tak lagi memberikan ijinnya

Aroma sangit membangunkan anganku
Melumat cerita mati bagai setitik tinta di hati
Derita bisa ku beri, namun tidak dengan harga diri
Ku di sini, menjaga kekosongan tetap dijari tanpa kemudi
Tapi kau di sana, sibuk menata ego yang kering dan hina
Hei sang pendua
Jarum jam meniti indah dirimu bagai raja
Menari, tertawa, dan berdansa disisi sang lara
Langit tak memberi warna, berpijak pada tanah pun tak kuasa
Ku disini, terjaga dari rasa penuh nyeri yang kau bagi
Bersama jeritnya yang kau mainkan seorang diri
Sudahlah, aku tak merasa lagi
Cintamu sudah mati, begitupun kita nanti
Ku tetap disini, menatap senja yang tersenyum iri pada merpati
Ku tetap disini, meratapi sisa waktu yang tak bisa kurasa lagi

KATA-KATA

Kelam yang Mendamba

Dirimu terlalu megah untuk seorang pengembara setan sepertiku
Sisa naluriku sudah ku buang jauh
Dilubuk kotoran sapi di samping rumahku
Tali hitam berkarat memasung hatiku di kotak kosong penuh duri
Tak perlu menyelamatkan karena tangan kecilmu lebih berharga
Bagiku, bagi dunia, maupun bagi hati yang di sana
Sebatas lelah juga tak bisa ku ucap
Kelopak mawar di tangamu, menyamarkan noda darah
Dari duri yang menancap karena gerah
Tetas merah jatuh disana, di atas kotak penjaga
Larut dalam hatiku yang remuk dan menambah lara
Membuatku terperangah, menghela dan memukul dada
Ternyata, kehadiranku melukaimu separah itu
Ternyata, keberanianku merusak apa yang kujaga dengan diam
Kau yang ada di sana,
Gadisku yang hilang
Karena cinta tak terucap yang dengan lugunya
ku teriakan pada semesta

KATA-KATA

Luput Tak Bersisa
Takdir selalu membawa dua pedang di hadapanku
Hitam dan putih, tajam dan tumpul
Itu adalah pilihan, bukan tawaran
Dengan kepolosan seperti anak kesayangan Tuhan
Ia tersenyum menenangkan sambil mendorongku menuju jurang
Kini, aku terlalu lelah untuk berucap
Kepada kau di sana, yang sedang melihatku di bawah lampu terang tak bermakna
Menahanmu disini adalah pilihan
Seperti pena di ujung jemariku, aku tak tahu kapan tinta merah itu akan merenggutku
Dengan pelan masuk melalui aliran darahku
Hingga mengendalikan diriku tuk tunduk padamu
Kau yang disana,
Maafkan jiwa yang rapuh ini
Karena hanya bisa melihat dan merasa
Tapi tak mampu berkata
Ku lihat dinding di pojok kamarku
Topeng berdebu di sana sempat menggiurkanku
Tapi kini aku tak butuh lagi
Karena tidak mungkin, aku menggunakan topeng di atas topengku sendiri
Topeng berkarat yang telah mengakar diwajahku
Mengambil hidupku dan warna kulitku
Hingga ku tak tahu dimana diriku yang asli
Hingga ku tak peduli dan berakhir di sini
Kini aku tak lagi merasa
Menatapmu dalam diam, hambar, tak bernyawa
Aku takut hatiku kecewa
Lalu ku palingkan muka ke hadapan realita
Meskipun dia begitu jahat dan murka